Versi tulisan ini yang sudah disunting dapat diakses di The Conversation Indonesia
Beberapa saat setelah proses pemungutan suara dinyatakan ditutup, calon Presiden Prabowo Subianto, buru-buru mengumumkan kemenangannya. Dasar klaim tersebut adalah data exit poll dengan melibatkan 5000 TPS yang menunjukkan dirinya dan wakilnya Sandiaga Uno menang dengan perolehan suara sebesar 55,4 persen.
Tidak lama kemudian, Prabowo kembali mengumumkan kemenangannya berdasarkan hasil real count yang dikompilasi dari timnya di 320 ribu TPS, menunjukkan ia menang dengan margin yang sangat besar, yaitu 62 persen.
Menariknya, klaim kemenangan tersebut amat bertentangan dengan hasil hitung cepat (quick count) yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei, dimana Jokowi-Ma’ruf Amin diprediksikan menjadi pemenang dengan perolehan suara sekitar 53-56%. Namun suara Prabowo-Sandiaga Uno diperkirakan ‘hanya’ mencapai 44-46%, sangat jauh dengan klaim Prabowo. Dalam pidatonya, Prabowo juga sempat menyerang kredibilitas lembaga-lembaga survei yang ia anggap sengaja menggiring opini bahwa dirinya kalah kontestasi.
Secara singkat, hitung cepat sangat berbeda dengan survei elektabilitas, exit poll dan hitungan resmi dari Situng Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tentu saja, klaim kemenangan hanya dapat dilakukan dengan menggunakan hitungan manual dan berjenjang resmi versi KPU sebagai dasar klaim, bukan dengan hitung cepat, exit poll, apalagi sekadar survei elektabilitas. Dalam tulisan ini, saya tidak akan menguraikan lebih jauh mengenai perbedaan metodologis antara ketiganya. Namun yang membuat saya lebih kuatir, klaim prematur dari Prabowo ini menyiratkan sikap yang cenderung negatif terhadap sains, sekaligus mendorong pendukungnya mengadopsi mentalitas konspiratif.
Berpikir konspiratif vs bersikap skeptis
Ada perbedaan yang sangat mencolok antara bersikap skeptis dengan berpikir konspiratif. Bersikap skeptis merujuk pada kecurigaan yang diiringi dengan kemauan untuk memperbarui opini ketika mengamati bukti baru yang bertentangan dengan pra-anggapan yang sebelumnya dimiliki. Skeptisisme adalah sikap penting dalam usaha mengembangkan ilmu pengetahuan, karena membantu ilmuwan untuk membedakan premis yang keliru dengan yang lebih mendekati kebenaran.
Sebaliknya, berpikir konspiratif berakar dari kecurigaan berlebihan bahwa suatu kejadian penting merupakan hasil rekayasa sekelompok kecil orang yang sangat berkuasa. Berpikir konspiratif sangat erat kaitannya dengan misinformasi yang amat sulit dikoreksi, meskipun orang yang mempercayainya sudah diberikan diberikan bukti-bukti baru. Yang menarik, ketika orang yang percaya teori konspirasi diberikan fakta-fakta yang bertentangan dengan keyakinannya, bukannya malah mengubah pendapatnya, ia akan semakin keras kepala dan menggunakan upaya koreksi tersebut sebagai pembenaran atas keyakinannya yang keliru. Dalam Psikologi Sosial, fenomena ini juga dikenal sebagai backfire effect.
Dalam merumuskan kesimpulan atas gejala yang diamati, seorang ilmuwan harus mempertimbangkan semua bukti yang seringkali bertolak belakang satu sama lain, sehingga seorang ilmuwan harus cermat dan berhati-hati dalam mengambil kesimpulan. Sebaliknya, penggemar teori konspirasi hanya mau percaya pada informasi yang sesuai dengan keyakinannya saja, serta dengan gegabah mengabaikan yang tidak sesuai dengan harapannya. Ini adalah karakteristik khas penggemar teori konspirasi, yaitu memiliki kebiasaan memilih-milih informasi (cherry-picking).
Hal ini ditunjukkan pula oleh Prabowo dan pendukungnya. Pada Pilgub DKI Jakarta 2017 yang lalu, ia mendeklarasikan kemenangan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang diusung partainya berdasarkan hasil hitung cepat, namun yang sebaliknya terjadi di 2019. Dengan memilih-milih bukti dan informasi, asumsi seliar apapun akan mudah dicari bukti dan pembenarannya, namun kesimpulan yang ditarik akan selalu menyesatkan.
Penelitian-penelitian Psikologi mengungkapkan beberapa alasan yang mendorong seseorang percaya pada teori konspirasi yang terbagi menjadi empat domain, yaitu: faktor psikologis, motif epistemik yang berkaitan dengan proses kognitif dan pemerolehan pengetahuan, motif eksistensial dan faktor demografis. Termasuk diantaranya adalah kurangnya kemampuan berpikir analitis, adanya perasaan tidak berdaya ketika menghadapi ancaman, menghindari situasi yang penuh ketidakpastian, rasa percaya yang rendah pada otoritas dan menganggap sains sebagai ‘ancaman moral’.
Mengapa teori konspirasi lebih meyakinkan bagi partisan?
Seorang partisan memiliki gaya yang khas dalam memaknai proses politik, yaitu cenderung bepikir dikotomis (baik-buruk, hitam-putih) dengan menganggap orang yang berseberangan dengannya sebagai sosok yang jahat, yang harus dikalahkan. Partisan juga mengalami gejala yang disebut ‘kelumpuhan epistemologis’ (crippled epistemology), dimana ia akan cenderung melihat pilihan kebijakan yang mereka sukai adalah solusi yang sederhana, sekaligus satu-satunya bagi masyarakat. ‘Kelumpuhan epistemologis’ ini tidak selamanya buruk bagi partisan, karena ia strategi yang ampuh dalam mengatasi kecemasan ketika menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian. Namun tentu saja, ‘kelumpuhan epistemologis’ inilah yang membuat partisan amat rentan terjangkit mentalitas konspiratif.
Partisan dari berbagai spektrum ideologi sama rentannya terjangkit mentalitas konspiratif, meskipun kalangan konservatif sering disebutkan lebih rentan. Riset yang dilakukan di Amerika Serikat dan Belanda misalnya, menemukan bahwa kaitan antara ideologi politik dengan kepercayaan pada teori konspirasi menghasilkan hubungan kuadratik (kurva U). Artinya, orang-orang konservatif dan liberal yang paling ekstrim, sama-sama punya kecenderungan tinggi mempercayai teori konspirasi daripada orang-orang yang lebih moderat. Cukup mirip dengan kondisi di Indonesia karena di pihak pendukung Jokowi, ada yang sangat percaya bahwa kemenangan Prabowo berarti bentuk negara akan diganti menjadi Khilafah.
Banyak yang mengira berpikir konspiratif sepenuhnya berkarakter irasional, namun faktanya tidak begitu. Berpikir konspiratif adalah bentuk ‘pengacuhan yang rasional’ yang digunakan partisan untuk menyortir informasi dalam rangka mencari-cari alasan pembenaran atas pandangan politik yang sebelumnya sudah sangat ia yakini. Oleh karena itu, mempercayai teori konspirasi disebut juga sebagai ‘penalaran termotivasi’ (motivated reasoning), sehingga orang yang percaya teori konspirasi akan menafsirkan informasi dengan cara-cara tertentu agar tak menganggu keyakinan yang sebelumnya sudah ia miliki. Jadi, pendukung Prabowo serta-merta menolak hitung cepat karena hasilnya bertolak belakang dengan keinginan mereka. Kalau yang terjadi sebaliknya, ada peluang pendukung Jokowi juga akan melakukan hal yang sama.
Komunikasi sains: tantangan ilmuwan kedepan
Berpikir konspiratif dapat mendatangkan bahaya yang serius yang beberapa diantaranya adalah; mengurangi ketelibatan masyarakat dalam usaha mitigasi perubahan iklim; mendatangkan bencana kesehatan masyarakat, misalnya, membuat orangtua ragu-ragu memvaksin anaknya; membuat masyarakat saling curiga akibat prasangka; mendelegitimasi institusi sosial, termasuk sains dan ilmuwan. Apalagi ada risiko orang yang percaya teori konspirasi tertentu, akan cenderung percaya teori konspirasi lainnya, meskipun keduanya tidak berkaitan bahkan bertentangan.
Partisan umumnya percaya bahwa ilmuwan selalu punya kepentingan terselubung (vested interest) dan sains adalah alat untuk mencapai kepentingan ini. Alasan ini sering mereka gunakan untuk mementahkan semua pekerjaan ilmuwan, meskipun ilmuwan tersebut sangat kredibel di bidangnya. Partisan juga sulit memahami sifat provisional dari sains, yaitu kebenaran saintifik hanya berlaku selama belum ada bukti yang dapat menggugurkannya.
Ilmuwan saat ini memang dihadapkan pada tantangan berat, yaitu merumuskan strategi mengkomunikasikan sains pada masyarakat awam, tanpa membuat klaim yang berlebihan. Oleh karena itu dalam mengkomunikasikan temuannya, ilmuwan perlu lebih hati-hati dalam membuat klaim dan selalu memasukkan unsur ketidakpastian dalam narasi-narasi yang ia sampaikan kepada publik.
Dalam mengatasi tuduhan adanya kepentingan terselubung, mengadopsi pendekatan sains terbuka dapat membantu para ilmuwan meneguhkan kredibilitas dirinya. Seandainya dari awal lembaga survei mau terbuka dalam menjelaskan pekerjaan mereka, tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada mereka hari ini tidak lagi menjadi relevan. Caranya dengan mendepositkan data mentah di repositori terbuka, membuka desain studi mereka sebelum pengambilan data, membagikan prosedur dan tata laksana pembersihan dan analisis data, dan atau setidaknya secara jelas mendeklarasikan adanya konflik kepentingan, sehingga memungkinkan ilmuwan lainnya melakukan peninjauan terbuka.
Wallahu a’lam bishawab